Untuk kita renungkan. (diambil dari secret indonesia)
Unas, bagi bangsa kita, merupakan sebuah peristiwa penting bagi jutaan orang setiap tahun. Kedatatangannya ditunggu-tunggu, tetapi sekaligus juga menjadi sumber kecemasan bagi banyak orang. Tidak hanya siswa yang akan bergelut dengan unas saja yang mengalami perasaan demikian, tetapi juga para orangtua, guru, kepala sekolah, bahkan mungkin mendiknas sendiri juga mengalami hal serupa.
Para orangtua cemas jika sampai putra-putrinya tidak lulus unas, berarti membuang dana pendidikan selama setahun, di samping malu pada tetangga dan sanak saudara. Para guru dan pengelola sekolah juga khawatir berat jika sampai siswa-siswanya banyak yang tidak lulus. Karena jika itu terjadi, maka citra atau merk sekolah dan guru bisa jatuh di mata masyarakat. Pejabat Diknas resah karena jika siswa-siswa di daerahnya banyak yang tidak lulus, pasti akan dinilai oleh pejabat di atasnya telah gagal membawa ‘misi pendidikan’ di daerahnya.
Lalu, bagaimana dengan pemerintah pusat, yang dalam hal ini maksudnya kementerian pendidikan nasional ?
Tentu kecemasannya akan lebih dahsyat lagi. Setidaknya ada dua pasal yang menjadikan institusi ini layak untuk menderita kecemasan paling tinggi. Pertama, beberapa waktu lalu Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi soal kemenangan masyarakat atas gugatan UN. Namun, meski gugatan masyarakat soal unas ini telah menang dan berkekuatan hukum, namun depdiknas tetap ngotot untuk mengadakan unas. Bukankah hal yang wajar jika kecemasan pemerintah jika sampai unas tahun ini gagal, dalam arti banyak siswa yang tidak lulus, sebanding dengan kengototan mereka itu ?
Kedua, depdiknas merupakan salah satu kementrian yang mendapat plafon APBN yang cukup besar dibanding kementrian yang lain, yakni sebesar 20% dari total APBN. Dengan anggaran yang demikian besar tentu pihak diknas tidak ingin dinilai tidak becus mengolala anggaran sebesar itu untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Karena selama ini mereka berasumsi bahwa tolok ukur utama mutu pendidikan adalah hasil unas, maka tentu mudah ditebak jika depdiknas sangat mengkhawatirkan unas tahun ini akan gagal.
Namun, dibanding yang telah disebut di atas, pihak siswa-lah yang paling dicemaskan oleh unas ini. Mengapa ? Dengan unas ini, usaha belajar mereka selama tiga tahun ditentukan oleh tes yang berlangsung hanya tiga hari. Meski ada ujian sekolah, realitanya tidak begitu mempengaruhi kelulusan. Tampaknya, ujian sekolah hanyalah sekadar pelengkap unas saja. Dengan ‘ketakwajaran’ ini, maka wajar jika beberapa bulan sebelum unas berlangsung, para siswa telah ‘diteror’ oleh kecemasan tidak lulus. Unas bak menjadi penentu hidup dan mati mereka.
Dan yang lebih memberatkan lagi, kecemasan berbagai pihak yang disebut sebelumnya, justru bertumpu pada kepiawaian siswa dalam memilih jawaban benar dari opsi soal-soal yang di-unas-kan. Jika pilihannya banyak yang benar, maka kecemasan mereka akan segera sirna. Tetapi jika banyak yang salah, maka urusannya akan menjadi berkepanjangan. Karena menjadi pelaku yang membawa beban kecemasan begitu banyak pihak, menjadikan beban tersebut menjadi ‘teror’ tersendiri bagi para siswa kelas tiga.
Selain dari yang disebut di atas, ada fenomena lain yang amat memilukan yang harus dipikul para siswa. Karena takut anaknya tidak lulus unas, biasanya para orangtua seringkali mewanti-wanti anaknya jangan sampai tidak lulus. Mereka mewajibkan anak-anaknya untuk belajar super keras. Para orangtua ini kurang menyadari bahwa ‘wejangan-wejangan’ mereka itu justru menambah beban mental anaknya yang juga sama-sama dilanda kecemasan yang luar biasa. Wejangan orangtua dan kecemasannya sendiri justru dapat menguras energi para siswa sebelum menghadapi unas.
Pengkondisian terhadap para siswa bahwa mereka menghadapi sistuasi yang sangat gawat ( unas ) ini juga dilakukan pihak sekolah dan guru. Mulai dari memberikan les atau tambahan jam belajar yang dilakukan sampai sore hari sampai dengan melaksanakan try out berulangkali pasti akan semakin menambah penderitaan siswa. Kondisi ini menjadikan para siswa terbebani lahir dan batin. Jika kondisi seperti digambarkan di atas tidak segera disadari oleh orangtua, guru dan pihak sekolah, kita patut khawatir jangan-jangan ketika tiba waktu unas, siswa-siswa kita telah kehabisan energi fisik dan mentalnya.
Tapi, apa pun yang terjadi the show must go on. Bukan hal yang mudah untuk menyadarkan banyak pihak untuk tidak menekan-nekan siswa. Hanya ada satu hal yang perlu kita sadari bersama, setelah siswa-siswa kita telah diberi beban yang berlebihan, janganlah ditambah lagi dengan memberi contoh perilaku-perilaku tidak jujur. Misalnya memberi jawaban saat mereka mengerjakan soal-soal unas. Jangan hanya karena ingin dianggap sukses, lalu pihak orangtua, guru atau sekolah ‘membantu siswa’ dengan cara tidak jujur. Cukuplah yang tua-tua saja yang tidak jujur. Tidak usah menularkan ‘penyakit’ tidak jujur kepada generasi muda, demi masa depan Indonesia yang bersih.
Para orangtua cemas jika sampai putra-putrinya tidak lulus unas, berarti membuang dana pendidikan selama setahun, di samping malu pada tetangga dan sanak saudara. Para guru dan pengelola sekolah juga khawatir berat jika sampai siswa-siswanya banyak yang tidak lulus. Karena jika itu terjadi, maka citra atau merk sekolah dan guru bisa jatuh di mata masyarakat. Pejabat Diknas resah karena jika siswa-siswa di daerahnya banyak yang tidak lulus, pasti akan dinilai oleh pejabat di atasnya telah gagal membawa ‘misi pendidikan’ di daerahnya.
Lalu, bagaimana dengan pemerintah pusat, yang dalam hal ini maksudnya kementerian pendidikan nasional ?
Tentu kecemasannya akan lebih dahsyat lagi. Setidaknya ada dua pasal yang menjadikan institusi ini layak untuk menderita kecemasan paling tinggi. Pertama, beberapa waktu lalu Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi soal kemenangan masyarakat atas gugatan UN. Namun, meski gugatan masyarakat soal unas ini telah menang dan berkekuatan hukum, namun depdiknas tetap ngotot untuk mengadakan unas. Bukankah hal yang wajar jika kecemasan pemerintah jika sampai unas tahun ini gagal, dalam arti banyak siswa yang tidak lulus, sebanding dengan kengototan mereka itu ?
Kedua, depdiknas merupakan salah satu kementrian yang mendapat plafon APBN yang cukup besar dibanding kementrian yang lain, yakni sebesar 20% dari total APBN. Dengan anggaran yang demikian besar tentu pihak diknas tidak ingin dinilai tidak becus mengolala anggaran sebesar itu untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Karena selama ini mereka berasumsi bahwa tolok ukur utama mutu pendidikan adalah hasil unas, maka tentu mudah ditebak jika depdiknas sangat mengkhawatirkan unas tahun ini akan gagal.
Namun, dibanding yang telah disebut di atas, pihak siswa-lah yang paling dicemaskan oleh unas ini. Mengapa ? Dengan unas ini, usaha belajar mereka selama tiga tahun ditentukan oleh tes yang berlangsung hanya tiga hari. Meski ada ujian sekolah, realitanya tidak begitu mempengaruhi kelulusan. Tampaknya, ujian sekolah hanyalah sekadar pelengkap unas saja. Dengan ‘ketakwajaran’ ini, maka wajar jika beberapa bulan sebelum unas berlangsung, para siswa telah ‘diteror’ oleh kecemasan tidak lulus. Unas bak menjadi penentu hidup dan mati mereka.
Dan yang lebih memberatkan lagi, kecemasan berbagai pihak yang disebut sebelumnya, justru bertumpu pada kepiawaian siswa dalam memilih jawaban benar dari opsi soal-soal yang di-unas-kan. Jika pilihannya banyak yang benar, maka kecemasan mereka akan segera sirna. Tetapi jika banyak yang salah, maka urusannya akan menjadi berkepanjangan. Karena menjadi pelaku yang membawa beban kecemasan begitu banyak pihak, menjadikan beban tersebut menjadi ‘teror’ tersendiri bagi para siswa kelas tiga.
Selain dari yang disebut di atas, ada fenomena lain yang amat memilukan yang harus dipikul para siswa. Karena takut anaknya tidak lulus unas, biasanya para orangtua seringkali mewanti-wanti anaknya jangan sampai tidak lulus. Mereka mewajibkan anak-anaknya untuk belajar super keras. Para orangtua ini kurang menyadari bahwa ‘wejangan-wejangan’ mereka itu justru menambah beban mental anaknya yang juga sama-sama dilanda kecemasan yang luar biasa. Wejangan orangtua dan kecemasannya sendiri justru dapat menguras energi para siswa sebelum menghadapi unas.
Pengkondisian terhadap para siswa bahwa mereka menghadapi sistuasi yang sangat gawat ( unas ) ini juga dilakukan pihak sekolah dan guru. Mulai dari memberikan les atau tambahan jam belajar yang dilakukan sampai sore hari sampai dengan melaksanakan try out berulangkali pasti akan semakin menambah penderitaan siswa. Kondisi ini menjadikan para siswa terbebani lahir dan batin. Jika kondisi seperti digambarkan di atas tidak segera disadari oleh orangtua, guru dan pihak sekolah, kita patut khawatir jangan-jangan ketika tiba waktu unas, siswa-siswa kita telah kehabisan energi fisik dan mentalnya.
Tapi, apa pun yang terjadi the show must go on. Bukan hal yang mudah untuk menyadarkan banyak pihak untuk tidak menekan-nekan siswa. Hanya ada satu hal yang perlu kita sadari bersama, setelah siswa-siswa kita telah diberi beban yang berlebihan, janganlah ditambah lagi dengan memberi contoh perilaku-perilaku tidak jujur. Misalnya memberi jawaban saat mereka mengerjakan soal-soal unas. Jangan hanya karena ingin dianggap sukses, lalu pihak orangtua, guru atau sekolah ‘membantu siswa’ dengan cara tidak jujur. Cukuplah yang tua-tua saja yang tidak jujur. Tidak usah menularkan ‘penyakit’ tidak jujur kepada generasi muda, demi masa depan Indonesia yang bersih.